Monday 8 June 2015

Cerpen : Drifting

Seperti biasa malam itu saya dan teman-teman berpesta pora menikmati hiruk pikuk kota dengan sejumlah gadis-gadis malam. Saya hanya berpakaian sederhana.  Baju kaos oblong dipadu dengan celana pendek setengah tiang. Kebetulan malam itu diadakan balap liar untuk mengadu mobil siapa diantara kita yang paling cepat. Dan kebetulan juga malam itu saya membawa mobil civic 2000 bersama adik perempuanku. Anggap saja namanya Gita. Dia manis sekali sehingga tidak sedikit para lelaki yang senang menggodanya.

Kami bermabuk-mabukan di malam itu, terdapat beberapa botol minuman keras bertebaran disana sini. Kuching adalah kota yang sangat sepi jika sudah melewati pukul 11 malam. Disebuah rumah temanku, kami berpesta. Disana mereka bersuku Chinese dan Cuma saya dan Gita saja yang beragama Islam.
“Don, kita taruhan, yang menang, mendapatkan mobil lawannya. Bagaimana?” tiba-tiba Sena mendatangiku dengan setengah berlari dihadapanku dan langsung mengatakan hal gila seperti itu.
“Maaf, aku gak bisa. Aku punya perasaan aneh malam ini. Jadi aku terpaksa
menolak bertanding dengan siapapun malam ini.”
“Tenanglah, tidak akan terjadi sesuatu malam ini. Aku janji aku main fair malam ini.” Katanya.
“Maaf aku tidak mau dan tidak bisa.” Sahut Doni, yaitu saya.
“Ayolah! Jangan takut begitu. Everything’s gonna be fine, pal.” Rayunya.
Setelah dipertimbangkan,akhirnya saya mau juga.
“Hmmmm, baiklah.”
“YES!” teriaknya.
“Tapi ingat, hanya untuk malam ini, hanya satu putaran, dan hanya balap ini saja.”
“Siiiip”.
Kamipun mulai bersiap-siap di garis start untuk memulai pertandingan ini. Daaaaaan……. Gooooooooooo!!!!!!!!!!!!!!!! Balapan pun dimulai.
Beginilah kami, para pekerja dari Indonesia jika sudah menikmati keindahan malam di kota Malaysia yang jauh dari kehangatan keluarga. Selalu melakukan hal-hal aneh dan ekstrim disaat semua orang sudah tertidur hingga jam 3 pagi waktu setempat. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan penat di siang hari akibat bekerja. Jam 8 pagi sudah berangkat kerja, dan pulang kerumah jam 6 sore. Sarapan pagi seringkali diluar rumah dan makan siang dikantor serta makan malam pulang dari kantor kadang-kadang diluar rumah juga. Sehingga jarang sekali untuk menyantap hidangan dirumah bersama adikku, Gita.
Yak! Pertandingan dilanjutkan kembali. Mobilku menikung sana sini mengikuti tanda jalan disisi kiri dan kanan. Penting untuk menjaga kestabilan mobil menggunakan tanda batas jalan ini. Karena jika salah sedikit saja, akibatnya mobil akan berguncang dan bisa kehilangan kendali hingga ban menjadi selip sebelum akhirnya mobil berputar atau paling buruk, membentur besi pembatas jalan disisi jalanan. Syarat pertandingan malam itu juga melibatkan seorang navigator. Dan yang kupilih adalah Gita, adikku sendiri. Karena ia lebih sering dan mengenal jalanan ini. Aku dan Gita tidak terlalu mabuk malam itu, yang mabuk adalah pengemudi lawanku, Sena bersama navigatornya hingga membuat mobilnya kesana kemari tak karuan, baik dilintasan lurus maupun tikungan.
Perasaan aneh masih menyelimuti hatiku malam itu. Aku berusaha menghentikannya, tapi tidak bisa. Jadi yang kulakukan adalah lebih berkonsentrasi terhadap pertandingan ini. Karena kalau kalah, mobil satu-satunya yang kumiliki ini adalah taruhannya.
Sesaat aku kehilangan konsentrasi dan melihat mobil Sena, Celica, sudah berada sedikit kedepan dari sebelah kemudiku. Ia berusaha mendahuluiku dari arah sebelah kanan. Aku hendak menambah kecepatan, tapi kulihat terdapat tikungan tajam berbentuk huruf V didepanku. Aku memperlambat mobilku dan membiarkan mobil itu bergerak duluan. Kami bersama-sama menggunakan teknik Drift untuk mempercepat laju mobil di tikungan tajam dengan tidak terlalu mengurangi kecepatannya, dan berhasil. Suara jantung mulai berdegup kencang sebagai pertanda adrenalin sudah terpacu.
“Bang, hati-hati ya..” Gita membuka suara.
Aku tersenyum dan berpaling sedikit ke arahnya memberikan senyuman sebagai pengganti kata-kata “semuanya akan baik-baik aja kok peri kecilku”.
Setelah meliuk-liuk jalanan, terdapat tikungan U tak jauh berada didepan. Untuk menghadapi tikungan U, seorang driver harus bisa menstabilkan mobilnya dengan kecepatan tinggi dengan teknik drifting. Waktu itu kecepatan mobilku 100km/jam. “Aku harus bisa. Aku pasti bisa” kataku dalam hati.

Teknik itupun dimulai antara aku dan Sena. Mula-mula kuinjak gas dan rem bersamaan sambil memindahkan rotasi gear ke gigi 3, steer diarahkan ke arah tikungan lalu dengan cepat dibalikkan lagi ke arah yg berlawanan dari arah tikungan tadi dan disambut dengan menekan pedal gas secara seimbang untuk mempertahankan laju dan kestabilan mobil untuk tetap berada di kecepatan 80 km/jam. 1 detik. 2 detik. 3 detik. 4 deetik. 5 detik. Selesai sudah drifting yang kami lakukan. Aku melihat mobil Sena sudah berada di belakang kami. “pasti karena mereka mabuk berat,jadi mereka terlalu terlambat untuk melakukan akselerasi mobil mereka” kataku. Gita menghela nafas panjang setelah aku berhasil menaklukan tikungan itu. Dan Finiiiiiiiiish….!!!!!! Pertandingan selesai dan kami memenangkan pertandingan. Gita sangat senang sekali. Begitu juga aku. Kami pun mulai turun dari mobil.
“Bangsaaaaaattttttttt….!!!!!!!!!!!!!!!!” Sena langsung keluar mobilnya dengan menodongkan pistol ke arah aku dan Gita. Aku berlindung di balik mobil tapi terlambat, Sena sudah menembakkan pistolnya berkali-kali. Aku selamat. Tapi tidak dengan Gita yang terkena hentaman peluru berkali-kali. Yang aku dengar hanya jeritannya. Saat aku melihatnya, dia sudah terkapar tak berdaya di jalanan. Aku langsung bergegas menghampiri Gita yang berada 2 meter dibalik mobilku setelah Sena menghentikan tembakannya. Sena langsung dihantam dengan kayu, besi, atau apapun itu oleh orang-orang sekitarnya. Aku merasa ia tidak puas dengan kemenanganku ini.
“Beginilah akibatnya kalau terlalu mabuk.” Kataku dalam hati.
“Gita!” dengan membaringkan wajah dan tubuhnya di tubuhku, “Are you okay? Answer me, Gita!” teriakku. Tapi ia tetap tak bergeming dengan limpahan darah ditubuhku.
“Kita harus membawanya ke rumah sakit terdekat disekitar sini.” Sahut Aliong cepat, “C’mon!! Kita tidak punya banyak waktu sebelum kita kehilangan dia.”
Aku mengerti. Dan kugotong dia kemobil Aliong. Disana sudah menunggu kekasih Aliong.
“Kita bertemu dirumah sakit. Aku akan menyusulmu sebentar lagi.” Kataku. Aliong hanya menganggukkan kepala tanda setuju.
Aliong menyalakan mobilnya dan berpaling. Aku langsung berbalik menghampiri Sena yang babak belur. Aku memeriksa kantung celananya. Kutemukan kunci mobil yang kucari. Kuambil kunci itu dan kuletakkan dimobil Sena.
“Besok mobil itu akan kujual untuk menanggung biaya rumah sakit adikku” kataku.
Tak lama, Aliong telah pingsan, semua orang sudah meninggalkan tempat itu karena adanya suara sirine polisi.
“Boni, bawa mobil itu. Kita bertemu dirumah sakit.” Kataku.
“Bagaimana dengan Sena?” tanyanya.
“Biarkan saja.” Kataku sambil melihat tubuhnya tak berdaya di jalan. “Ayo, Bon. Kalau tidak, polisi itu menangkap kita.”
Boni langsung pergi. Begitu juga aku. Dengan cepat kukemudikan mobilku menuju rumah sakit. Tiba dijembatan, macet, kuambil sisi arah yang berlawanan dengan jalan untuk tidak terkena kemacetan itu. Kulihat sekilas, ternyata ada kecelakaan mobil disitu. Aku tidak menghiraukannya karena yang ada dalam pikiranku Cuma Gita, adikku tersayang, tak peduli apa yang ada dihadapanku, jalanan menikung ku pakai teknik drift. Jika jalanan lurus, kupacu mobil dengan cepat. Untunglah pada saat itu sudah jam setengah dua pagi, jalanan sepi.
Tiba dirumah sakit, aku langsung menuju UGD. Aku bertemu Aliong dan kekasihnya. Mereka Cuma diam. Kulihat adikku sedang dioperasi untuk menutupi lukanya. Aku beranjak ke meja resepsionis dan menanyakan kabar adikku.
“2300 Dolar.” Katanya.
Aku terperanjat. Darimana aku dapatkan uang sebanyak itu. Apakah uang hasil penjualan mobil itu cukup untuk menutupi biaya adikku? Aku bingung. Dan aku berteriak, “aaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrggggggggggggghhhhhhhhhhhhhhhhhhhh”
Aku terbangun dari mimpi. Ternyata itu semua hanya mimpi. Gita berada disampingku dan tersenyum, “kamu pasti mimpi buruk lagi,” katanya.
Aku juga tersenyum melihat senyumnya yang luar biasa tegar itu. Aku palingkan wajahku darinya. Tersirat sebuah pemikiran, “Kenapa bau tubuhku menyengat seperti obat-obatan dirumah sakit?”

No comments:

Post a Comment

type your comment here...