Monday 8 June 2015

Cerpen : Hipnotis

Pernahkah gak sih lo ngerasa dihipnotis oleh sesuatu? Kalo dihipnotis sama manusia itu mungkin sudah biasa, tapi bagaimana jika dihipnotis sama yang namanya makhluk dari dunia lain? Atau bisa dibilang hantu.

Kejadiannya berawal dari kebersamaan aku dan teman – teman kuliahku sedang berjalan – jalan ria menikmati masa liburan. Kami singgah kerumah neneknya temen kami untuk berlibur melepaskan penat setelah ujian akhir semseter. Mereka sedang tidak ada. Begitu juga orang rumahnya yang lain. Kosong. Mereka sedang menghadiri undangan keluarga yang rumahnya terletak tak jauh dari rumah ini. Kami ketempat itu terlebih dahulu untuk mengambil kunci rumah nenek. Niat kami sebenarnya biar bisa ketemu sama cewek cantik, baik dijalan atau ditempat undangan tersebut.

Sesampainya disana,
niat tersebut belum terlaksana, hanya ibu – ibu dan bapak – bapak yang berada disana. Tak ada satupun dari mereka yang sebaya dengan kami. Sedihnya. Kami cuma duduk – duduk diluar sementara teman kami, Hari, mengambil kunci rumah.

Kami kembali ke habitat kami. Aku, Aris, Hari, Dimas, Sabrin, Ian adalah teman kuliahku, serta Arya teman SMAku yang kebetulan entah darimana datangnya ikut dalam tur ini. Kami berbincang – bincang ria dari siang hingga sore. Bosan. Lalu kami ingin jalan – jalan sejenak melihat – lihat pemandangan alam sekitar. Wajar saja kami melakukan eksplorasi seperti itu, karena kami semua tidak kenal mengenal dengan suasana lingkungan sekitar.

Keluar dari pagar rumah,
terdapat jalan kecil, yang biasa orang kota bilang adalah gang, terdapat simpang tiga. Ke arah kiri, depan, dan kanan. Kalo ke arah belakang, ya balik lagi kerumah,hehe. Kami bertujuh memutuskan kearah depan dahulu, jalan menuju kerumah keluarganya si temen kami yang mengambil kunci tersebut diresepsi pernikahan. Namun tempat itu sedikit jauh sehingga kami menempuhnya dengan kereta beroda empat. Karena kami ingin jalan – jalan saja, kami hanya menggunakan kaki kami saja biar terasa rileks menghirup udara segar disore hari. Kami berjalan, dan terus berjalan, disertai tawa dan ribut – ribut spesies kami bertujuh.

Niat kami akhirnya terkabulkan oleh Yang Kuasa. Kami bertemu cewek yang usianya sepantaran dengan kami, berjalan beriringan ke arah yang sama. Sendiri. Postur tubuhnya hampir sama dengan kami semua. Berambut hitam sedada, berparas manis, berkulit sawo matang, bertubuh langsing, dan tentu saja kakinya menyentuh tanah. Kami tidak mendapat pikiran apa – apa sore itu. Padahal kalo pengen dipikir – pikir, hari sudah agak menjelang maghrib sore itu. Mestinya kami sudah bisa berpikir lebih jauh jika ingin berkenalan dengannya di sore itu. Apalagi hendak memasuki waktu maghrib disebuah desa yang kami belum tahu sama sekali seluk beluk didalamnya. Dia berjalan layaknya orang normal, tidak dibuat – buat atau entah apa gaya sesosok hantu yang menyamar menjadi manusia. Entah kemana dia akan melangkah.

“Ran, ajak kenalan tuh cewek. Lo kan ganteng, pasti dia mau. Kalo sama kami, dia pasti gak akan mau.” Kata Sabrin.

“Yupz. Betul – betul!!!!!” Sahut yang lainnya.

Mereka masih saja merayuku sepanjang perjalanan. Dan akhirnya kami berpisah. Hari, Ian, dan Dimas berjalan ke arah yang berbeda, entah kemana mereka akan pergi. Aku tak tahu. Itu bukan urusanku karena mereka merahasiakannya. Aku tinggal berempat. Aku, Aris, Arya dan Sabrin.

Selagi mereka bertiga sedang bercakap – cakap sendiri dibelakangku, aku berjalan sendiri sambil menundukkan kepala sambil sesekali memandang kearah cewek itu. Memikirkan cara yang tepat untuk berkenalan. Kulihat dia juga sesekali memerhatikanku. Dan aku mempunyai keberanian untuk itu. Sedetik hendak aku melangkah, dia menghampiriku duluan.

“Kok lama banget sih!?” Kata cewek itu. Aku bingung apa yang dimaksudnya. Mungkinkah maksudnya gini, “Kok lama banget sih ngajak aku kenalan? Aku kan daritadi pengen kenalan dengan kamu dan juga teman – teman kamu.” Aku tak tahu.

“...” Aku hanya diam tak berkata apa – apa.

“Ya udah deh,” katanya sambil menyodorkan tangan kearahku megajakku berkenalan. Aku jadi malu sebagai cowok karena cewek itu yang terlebih dulu mengajakku berkenalan. “Disya.” Katanya. “Gila, berani juga dia ngajak kenalan.” Kataku dalam hati. Cewek ini berbusana belang – belang hitam dan hijau serta berjeans biru.

“Randa.” Kataku padanya.

“Ok.” Katanya.

“Mau kemana?” tanyaku sedikit padanya.

“Mau pulang.” Jawabnya singkat.

“Mau dianterin? Aku dan juga temen – temen.” Kataku. Teman – temanku yang dibelakang hanya memberi kode tanda jempol yang artinya ‘siiiip’. “Lagipula gak baik cewek jalan – jalan sendiri.” Lanjutku.

“Ah, gak apa – apa kok. Udah biasa jalan sendiri.” Katanya lagi.

“Jadi mau dianterin gak nih? Yah, itung – itung sebagai salam perkenalan.” Kataku lagi untuk tawaran yang kedua kali.

“Ya udah deh, gak pa-pa.” Katanya mengiyakan.

Memasuki jalan kecil lagi sampai akhirnya menemukan rumahnya.

“Owh, jadi ini nih rumahnya. Boleh donk sekali – sekali maen kerumah kamu nih.” Kata Aris sok berbasa – basi.

“Sekarang aja boleh kok. Gak pa-pa. Gak ada orang dirumah.” Katanya berbicara sambil membuka pintu dengan kuncinya.

“Emang orang rumah kemana?” kata Aris lagi.

“Pergi.” Jawabnya singkat. Kami tak ingin lagi menanyakan tentang orang rumahnya, karena pertanyaan tadi tidak dijawabnya dengan lengkap. Pergi kemana dan sama siapa. Lagipula itu bukan urusan kita untuk menanyakan lebih detail. “Yuk, masuk. Sori, rumah berantakan. Gak ada yang ngurus sih.”

“Lho, kamu kan tinggal disini. Aneh.” Kataku.

“Iya, aku emang tinggal disini. Tapi sesekali aja aku kesini.” Katanya lagi. Aku suka dengan cewek yang cara ngomongnya nyeplos kayak gini. Beda dengan aku yang karakternya pendiam.

“Lho, emang kamu tinggal dimana?” tanya Arya.

“Aku tinggal gak jauh dari rumah ini.” Katanya menjelaskan. “Dirumah nomor sepuluh. Keluar dari gang ini belok kanan disebelah kiri.”

“Wah asik donk bisa pilih rumah. Bisa pilih hari ini mo tinggal dimana.” Ceplos Sabrin. “Kalo malam ini loe butuh temen, kami siap kok nemenin.” Katanya merayu.

“Yeee.... Maunya..!!!!” jawab kami semua serentak. Sabrin jadi malu. Wajahnya yang hitam berubah sedikit merah. Jadi lucu banget kalo dilihat.

Dia tersenyum. Ia menjadi semakin cantik. Aku semakin menyukainya. Tapi ada yang mengganjal dalam pikiranku. Sesuatu yang aneh.

“Anggap aja rumah sendiri. Ada TV kalo pengen nonton, en ada kulkas juga kalo pengen mendinginkan badan kayak pinguin, haha...” katanya lagi.

Bagiku, rumahnya gak terlalu kecil, seperti dibuat oleh arsitek pada zaman Belanda. Tidak seperti terlihat dari luar yang bisa dibilang sempit. Ketika masuk, langsung menuju ruang tamu dimana terdapat kursi dan meja kayu serta pajangan foto – foto disisi dinding – dindingnya. Karena kami dipersilahkan masuk lebih dalam, aku sadar bahwa dari ruang tamu langsung menuju ruang keluarga dimana terdapat sebuah TV hitam putih zaman dulu, sebuah sofa hitam didepannya untuk menonton TV. Terdapat dua buah kamar disisi TVnya. Aku bisa menebak dua kamar itu adalah kamar orangtua dan kamar anaknya. Sabrin dan Aris langsung membuka TV dan menonton seenaknya seperti rumah mereka sendiri tanpa ada rasa malu.

“Aku mandi dulu.” Kata cewek itu.

“Eh, tunggu!!” seruku.

“Eh, apa??” katanya kaget. Dia sudah mengambil handuk dan sudah mengalungkannya dilehernya.

“Yang aku tahu, kalo cewek mandi tuh lama. Jadi aku dan temen – temen pake sebentar kamar mandinya.” Jelasku.

“Boleh aja. Tapi buat apa?” tanyanya.

“Buat ambil wudhu. Kita mau solat maghrib dulu.” Jelasku lagi.

“Haha.. kirain buat apaan.” Katanya sambil tertawa memperlihatkan lesung pipitnya yang imut. “Ya udah, cepet sana. Gerah nih.” Katanya lagi.

“Iya iya gak lama. Cuma 10 jam.” Sahut Sabrin yang langsung nyosor duluan.

“Woy! Aku yang minta, kamu yang duluan.” Jawabku kesal.

“Siapa cepat, aku yang dapat.” Katanya singkat.

“Anjrit!!” kata Aris.

Bergilir satu per satu menggunakan kamar mandi hingga akhirnya selesai. Kami solat. Aris, Sabrin, dan cewek itu yang tidak solat. Aku rasa mereka non-Muslim.

Selesai kami berdua sholat, kami berbincang – bincang berempat tanpa mengindahkan kehadiran si cewek tadi. Lama kami menunggunya sampai akhirnya kami mencoba memanggilnya.

“Disya..!!!” bergantian kami berempat memanggil dirinya. Tak ada jawaban sama sekali. Awalnya kami kira dia sedang berganti baju selepas mandi tadi. Tapi karena kami ingin pulang dan menceritakan kejadian ini kepada teman – teman kami yang lain, kami ingin pamit sesegera mungkin. Tak enak rasanya keluar dari rumah tanpa memberi tahu kelepasan kami pergi padanya.

Kami tetap memanggil. Nihil. Tak ada jawaban sama sekali. Salah satu dari kami, Sabrin, mencoba masuk kekamarnya.

“Aku masuk kamar ya!?” katanya. Langsung saja ia masuk setelah berbicara seperti itu. Kami memperhatikan dan menuggu dia berbicara. “Kosong, bro!” katanya.

“Ah, yang bener??” Arya mulai curiga.

“Liat sendiri kalo gak percaya.” Kata Sabrin. Orang ini memang suka berbohong. “Aku gak bohong.” Dia masuk kamar lebih dalam. Kami semua mengikuti. Benar yang dikatakannya. Kali ini dia tidak berbohong. Benar kosong adanya didalamnya. Tak ada kasur atau apapun didalamnya. Tak ada jendela atau pintu lain. Yang ada hanyalah ribuan sarang labah – labah disekelilingnya.

“Dis..” panggil kami bergantian.

Tetap tak ada sahut balik dari sesosok suaranya. Kami mulai curiga. Rasa kaget dan ketakutan mulai menyelimuti hati kami berempat.

“Gak ada apa – apa disini. Mungkinkah dia...” belum selesai Aris melanjutkan kata – katanya, kami sudah menggigil.

“Ya udah, kita cari diluar.” Kataku.

Kami keluar dari kamar. Kaget. Takut. Semua seperti disulap. Ruangan itu menjadi gelap remang – remang. Hanya pantulan sinar dari rumah lain dan lampu jalan yang menyinari kegelapan didalam rumah itu. Sarang laba – laba bertebaran dimana – mana. TV dan sofa tempat kami nonton dan duduk tadi pun berubah menjadi kusam tak terawat. Kulitnya rusak. Tak ada lagi barang – barang bagus disana. Semuanya tak terawat sama sekali.

“Ris,” panggilku. Dia dengan cepat menoleh. “Kayaknya tebakan loe tepat.” Kataku.

Dia tidak dapat berkata apa – apa. Wajahnya semakin pucat.

“Kita harus keluar dari rumah ini dulu.” Arya menyarankan. “Itupun kalo kalian pengen keluar dari rumah ini.”

“Seph.”

Kami bergegas keluar dari rumah kosong tak terawat itu. Aku mulai berpikir yang macam – macam. Bayangan sesosok makhluk berada didepan pintu menghalangi pintu keluar. Pintu tertutup secara tiba – tiba saat ingin keluar dari rumah lalu terkunci rapat tak bisa terbuka. Makhluk itu mengepung dari belakang yang siap menerkam kami dan... “Akh, buang pikiran itu jauh – jauh. Jangan mikir yang macam – macam daripada semua yang dipikirin berubah jadi kenyataan.” Perintahku pada diri sendiri sambil terus berlari mengikuti langkah kaki teman – temanku menuju ke arah pintu.

Tidak terjadi apa – apa sampai akhirnya kami berhasil keluar dari pintu. Aku menghembuskan nafas lega karena tak terjadi apa – apa seperti yang kupikirkan tadi. Tapi tiba – tiba aku teringat sesuatu.

“Hey. Ada yang lupa!!” seruku.

“Hah? Udah deh, don’t be kiddin’.” Kata Sabrin.

“Sok Inggris Loe.” Aris melanjutkan.

“Serius!!!” kataku lagi.

“Emang apanya yang lupa??” tanya Arya.

“Kameraku.” Kataku.

“Cool.” Sabrin menimpali.

“Aku mau balik lagi ngambilnya.” Lanjutku.

“Bahaya kalo loe pergi sendiri kedalam. Kita udah ditipu sama cewek itu. Kita udah dihipnotis. Atau mungkin juga cewek itu keberadaannya emang gak ada dari awal.” Kata Arya menjelaskan. Masuk akal juga. “Aku ikut.”

“Thanks.” Kataku.

“Hati – hati, bro! Perasaanku gak nyaman sama sekali nih.” Kata Sabrin lagi. “Aku serius!” katanya lagi.

“Ok! Thanks.” Sahut Arya.

“Hey. Kayaknya kita gak nunggu disini.” Kata Aris. “Kita berdua harus melapor dulu ke temen – temen. Lagipula bahaya kalo cuma pergi sendiri.” Kata Aris lagi menyarankan.

“Ya udah.” Kataku, “Nanti kita ketemu dirumah yang tadi dibilang sama cewek itu. Dirumah nomor sepuluh sebelah kiri keluar dari gang ini.” Saranku.

“Kita pergi.” Kata Sabrin. Mereka berlari keluar pekarangan rumah dengan berlari terbirit – birit, hampir menabrak mobil tua yang tidak berada disana sebelum kedatangan kami. Mobil itu tak ada ban dan juga jendelanya sama sekali. Mobil itu sudah sangat kusam. Cat kulitnya yang berwara putih itupun terkelupas dimana – mana.

“Hey. Kita masuk. Kita harus cepat. Sebelum hari semakin malam.” Ajak Arya.

Kami masuk kembali kedalam rumah. Pintu berderit, tak dikunci. Tak seperti awal kedatangan kami kerumah ini yang pintunya tak berderit sedikitpun. “Pintu yang hebat.” Pikirku dalam hati. Kami masuk dengan cepat. Tidak seperti dalam film – film dengan masuk secara perlahan – lahan. Kami sedikit berlari.

“Dimana loe simpan kamera itu?” tanya Arya.

“Kalo gak salah diatas TV.” Jawabku mantap. “Aku inget banget.” Kataku lagi sambil memandang mantap ke arah Arya. Dia mengangguk mantap. Yakin dia mempercayaiku.

Kami masih berada ditengah – tengah ruang tamu menuju ruang keluarga. Jarak dua ruangan itu tidak begitu jauh hingga akhirnya kami berada diruang keluarga. Sebuah TV usang masih berada disana. Kami menghampiri, tapi tak ada kameranya. Kami bingung.

“Kita cari dikamar mandi.” Kataku.

“Loe bikin foto porno ya sampe ada dikamar mandi? Gak mungkin banget.” Arya heran.

“Gak ada salahnya mencoba.” Kataku yakin. “Perasaanku megatakan barang itu ada disana.”

“Ayo.” Kata Arya cepat. Sepertinya dia ingin cepat – cepat keluar dari rumah ini.

Kamar mandinya sedikit luas, tapi terletak agak jauh dibelakang. Dengan cepat kami menuju kesana. Melewati sebuah ruangan lagi yang kami sadar betul bahwa itu adalah dapur. Kami belok kiri kearah kamar mandi. Kami masuk membuka pintu.

“Nah, itu dia kameraku!” Seruku. Aku menghampirinya diikuti Arya dibelakangku. “Tapi kok bisa ada disini??” tanyaku penasaran.

“Nanyanya nanti aja. Yang lebih penting kita harus keluar dari tempat ini sekarang.” Kata Arya.

“Ok. Ayo!!”

Kami bergegas keluar dari kamar mandi itu. Tinggal selangkah lagi ke arah pintu, tak ada angin atau apapun, tiba – tiba pintu tertutup keras. Padahal tak ada engsel di gagang pintunya, baik itu diluar atau didalamnya. Kami menabrak pintu. Gubrak. Lalu kami tak mengindahkan rasa sakit itu. Kami cepat – cepat membuka pintu itu menggunakan jari – jari kami yang mungil melewati selah – selah pintu itu. Pintu terbuka. “Berhasil!!” kataku dalam hati. Kami langsung keluar tanpa berpikir panjang. Yang ada dalam pikiran kami Cuma satu, yaitu keluar dari rumah ini secepatnya. Kami berlari secepat mungkin tanpa mengindahkan detak jantung kami yang begitu keras berdetak. Hosh.. Hosh.. Hosh..

Sekali lagi kejadian yang sama terulang. Selangkah lagi menuju pintu, pintu itu kembali tertutup keras. Kami sangat lincah, tidak bisa dipermainkan untuk yang kedua kali, tidak menabrak pintu itu. Kami mencoba dengan cara yang sama. Kali ini Arya yang melakukan pembobolan pintu. Aku tidak bisa lagi karena kedua tanganku memegang kamera. “Berhasil lagi!!!” kataku lagi dalam hati penuh senyum karena setelah ini sudah tak ada lagi ancaman.

Bergegas kami memakai sendal kami. Aku memakai sendal jepit berwarna hijau tua. Kulihat Arya berhasil memakai sendalnya secara sempurna dikedua kakinya. Tapi tidak denganku. Gagal. Aku memang tidak becus dalam mengurus hal sekecil ini. Kutinggalkan saja sendalku disana. Aku memakai sendal yang ada saja. Aku melihat sebuah sendal hitam. Kupakai saja karena kulihat Arya sudah jauh mendahuluiku. “Menyebalkan.” Kataku dalam hati.

Kami berlari. Keluar dari gang dan langsung menuju kerumah yang diceritakan si cewek itu. Kami bertemu dengan teman – teman. Kami bersama – sama menuju rumah nomor sepuluh itu.

Kami disambut seorang ibu – ibu yang usianya sekitar empat puluh tahun. Lumayan ramai keberadaan dirumah itu. “Mungkin keluarganya.” Pikirku.

“Apa benar ini rumahnya Disya?” tanya Hari kepada wanita setengah baya yang kurus itu.

“Iya benar. Kalian siapa ya?” tanyanya.

“Boleh kami masuk sebentar?” rayu Hari. “Ada yang ingin kami tanyakan.”

“Oh. Ayo ayo silahkan. Silahkan duduk aja. Anggap aja rumah sendiri.” Katanya bersikap seramah mungkin kepada kami.

“Rumah yang bagus.” Kataku. “Disekelilingnya banyak foto – foto. Keren.” Aku teringat semua foto – foto yang keberadaannya sama dengan foto – foto yang berada dirumah Disya itu.

“Haha... Anak saya yang punya ide.” Jelasnya sambil duduk disebuah kursi yang terbuat dari sofa berwarna hitam. “Meskipun dia masih kecil, tapi dia yang mengatur interior rumah ini. Dia memang anak yang berbakat.” Jelasnya lagi.

“Seandainya aja aku punya kehebatan seperti itu.” Kataku.

“Oya. Katanya tadi ada yang mau ditanyakan.” Tanya ibu itu penasaran.

Semua mata teman – teman kami berganti pandang.

“Ibu kenal dengan Disya?” tanya Hari membuka keheningan.

“Ya iyalah saya kenal.” Jaab ibu itu.

“Yang ingin saya tanyakan adalah Siapa Disya?” tanya Hari.

“Owh. Jadi itu yang pengen kalian tanyain. Kirain kalian mau nanya apa.” Jawab ibu itu.

“Begitulah.” Kata Arya.

“Disya itu anak ibu.” Kata ibu itu.

“Owh. Boleh kami bertemu dengan dia sekarang?” rayu Hari. “Kami ingin bertemu dia dan menanyakan sesuatu ke dia. Boleh kan?” rayu Hari lagi.

Wajah ibu itu berubah.

“Dia anak ibu. Dia meninggal dua belas tahun yang lalu.” Ia mulai terisak.

Jreeeennnggggggggg.........................................

Bulu kuduk kami semua berdiri. Rasa takut mulai menyelimuti. Satu per satu wajah kami semua memucat.

“Kenapa kalian? Kok wajah kalian jadi pucat semua begitu?” tanya ibu itu.

“Anu, Bu.” Sabrin mulai menjelaskan. “Aku, Aris, Randa, dan Arya tadi ketemu dan kenalan dengan dia.”

“Hah? Jadi kalian juga ketemu sama dia?” tanya ibu itu lagi.

“Banyak nanya banget sih ibu ini.” Kataku dalam hati.

“Emangnya ada orang lain lagi selain kami yang pernah dia temui?” tanya Aris akhirnya buka suara.

“Tidak juga selain ibu dan suami ibu. Dia anak ibu satu – satunya. Ibu sangat bangga punya anak seperti dia.” Jelas ibunya, “Sebelum suami ibu meninggal tahun lalu, Disya datang kedalam mimpi ibu. Dia bilang dia rindu sama ayah. Dia ingin sama – sama ayah lagi. Ibu bilang sama dia bahwa bukan Cuma ayah yang bakalan ketemu dia lagi, tapi ibu juga. Ibu juga kangen sama dia.” Dia mulai menangis.

Kami masih tetap diam mendengarkan ceritanya. Dalam keheningan, aku baru menyadari bahwa rumahnya menjadi kian sepi.

“Maaf. Kok jadi sepi? Orang rumah kemana ya?” tanya Arya.

“Palingan mereka diruang belakang semua.” Jawab ibu itu.

“Owh.”

“Setelah ibu bertemu dengan anak ibu dalam mimpi,” kata ibu itu melanjutkan, “besoknya suami ibu meninggal dengan wajah tersenyum. Ibu kira beliau lagi mimpi indah bertemu dengan Disya juga, tapi...” ia menangis lagi. Mencoba untuk tegar. Aris menghampiri disisinya. Memberikan tempat sandaran hangat untuknya.

“Disya hanya ingin berteman dengan orang – orang yang dianggapnya baik aja. Kalau dia menemui kalian, itu berarti dia menganggap kalian adalah orang baik.” Katanya mulai menjelaskan, “Banyak orang dari luar yang ingin menyelidiki dan bertemu dengannya, tapi tak satupun yang bertemu Disya.” Lanjutnya sambil terisak – isak, “Disya itu jenius. Tidak seperti anak – anak lain pada umumnya.”

“Ha.. Ha.. Ha..” kataku mengeluh. “Kalo boleh tau, kenapa dan apa sebab dia meninggal? Dan kenapa cuma kami berempat yang dia temui?” tanyaku lagi.

“Ibu gak tau.” Katanya masih terisak. “Dia meninggal karena masuk kedalam organisasi partai politik.”

“Partai politik?” kata Aris tidak percaya.

“Aneh.” Kataku.

“Kematian yang sangat aneh.” Ceplos Arya.

“Udah diinvestigasi sama polisi?” tanya Hari.

“Udah.” Jawab ibu, “Tapi gak ada bukti apa – apa tentang yang namanya pembunuhan. Polisi bilang ini adalah peristiwa kematian biasa.” Sambungnya.

“Polisi yang aneh.” Kataku lagi.

“Ya udah deh, Bu. Maaf ganggu waktu ibu. Kayaknya kita semua harus permisi.” Kata Hari.

“Lho kok cepet. Gak minum dulu? Ibu sampe lupa buatin kalian minum.” Katanya.

“Gak usah repot – repot, Bu.” Sambung Sabrin. “Udah malam. Kapan – kapan aja kalo kita kesini lagi.”

“Duh, Ibu jadi gak enak hati nih sama kalian semua.” Jawabnya sambil tersenyum.

“Makasih, Bu.” Kataku, “Met malam.”

Kamipun berdiri dan bersalaman dengan ibu itu lalu keluar menuju pintu ruang tamu untuk memakai sendal. Tapi Cuma aku yang agak linglung. Sendal yang kupake berwarna hitam tadi sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya sendal jepitku yang sebelumnya tertinggal dirumah Disya pada saat pelarian itu. Akhirnya aku memakai sendal itu lagi. “T’rima kasih, Dis.” Kataku dalam hati.

“Har, berarti semua ingatan tentang awal pertemuan kita dengan Disya tadi sore bisa terhapus donk? Coba kamu inget – inget lagi.” Kataku pada Hari yang sedang memakai sepatunya.

“Iya juga ya. Antara ada bayangan Disya dengan gak ada. Udah jadi samar – samar.” Jawab Hari.

“Bu,” tanyaku, “Aku mo nanya. Ini rumah siapa, Bu?” tanyanya pada Ibu itu. “Soalnya pas ketemu Disya dan disuruh masuk kerumahnya tadi sore, dia bilang itu rumahnya dan jarang pulang dirumah itu.”

“Ini rumah ibu saya. Rumah itu emang dulu milik kami, tapi semenjak suami ibu meninggal, ibu jadi pindah kesini. Daripada ibu sendirian disana.” Jelasnya.

“Haha.. kalo ibu kangen sama Disya, kayaknya ibu bisa kesana kapan - kapan.” Sambung Ian yang daritada banyak membisu, “Sekedar saran aja.”

“Makasih.” Cuma itu yang dibilang sama sang ibu. Kami pulang.

Dalam perjalanan pulang, aku tersadar dari tidurku. Ternyata itu semua hanya mimpi. Yes, Cuma mimpi. Aku langsung melirik jam. Sudah jam tujuh pagi. Disamping jam weker tempat tidurku, kuletakkan kamera digital. Aku membukanya hanya ingin melihat foto – foto didalamnya. Bulu kudukku merinding tak seperti biasanya. Foto cewek itu, Disya, ada didalamnya.

No comments:

Post a Comment

type your comment here...