Wednesday 10 June 2015

Cerpen : Kelompok Misterius

Aku berjalan kaki sendiri menyusuri heningnya malam. Lalu lalang mobil dijalan sudah sepi. Sudah masuk waktu tengah malam. Aku berencana mengisi perutku yang sudah mulai kosong. Kutemukan sebuah warung makan yang masih belum tutup melayani tiap-tiap orang yang singgah untuk makan. Bahkan ada juga yang hanya memesan minum sambil bersenda gurau dengan teman-temannya, ada pula yang berduaan untuk bermesraan di tempat itu.  Warung makan itu cukup luas dan besar. Meja-meja makan ditata per pondok-pondok. Pengunjung disana duduk berlesehan. Aku memilih salah satu pondok yang sepi tidak ada orangnya. Aku memesan makanan dan minuman kepada seorang pelayan yang datang. Tak lama menunggu, pelayan tadi membawakan hidanganku untuk kusantap. Langsung saja kusantap mengindahkan orang-orang yang ada disekitarku. Seseorang menatapku dari seberang tempatku duduk. Ia juga sendirian disana. Awalnya tidak kuhiraukan, tapi lama-kelamaan keadaan itu membuatku risih. Aku balik menatapnya setelah habis kusantap hidanganku. Ia menghampiriku.
“Hai,.” Sapanya, “Kamu Ben, kan?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Apa aku mengenalmu?”
tanyaku sedikit kaget dan penasaran.
“Kita pernah bertemu,” katanya, lalu ia buru-buru melanjutkan, “Uhm, maksudku, aku pernah melihatmu.”
“Aku tidak ingat kita pernah bertemu sebelumnya.” Aku berdiri menuju kasir untuk membayar santapanku tadi. Lalu mengajaknya berjalan kaki yang entah kemana tujuannya. Dia masih diam seribu bahasa.
“Kapan kau pernah melihatku?” tanyaku memecah keheningan.
“Aku pernah melihatmu,” katanya, “di dalam mimpi.” Lanjutnya.
“Hah?” jawabku kaget. Aku tahu memang ada orang-orang seperti ini di dunia ini. Orang yang mampu bertelekinesis, orang yang mampu mengingat semua hal dengan detail yang dilihatnya sekali saja, dan lain sebagainya. “Maksudmu, kamu bisa melihat mimpi seseorang gitu?” rasa kagetku perlahan-lahan menurun.
“Bukan cuma melihat, sih. Tapi aku juga bisa memasuki mimpi orang lain, berkomunikasi dengannya, atau apapun itu, di dalam mimpi tentu saja.” Lanjutnya.
“Cool.” Kataku singkat, “tapi kenapa kau memasuki mimpiku?” tanyaku lagi. Begitu banyak pertanyaan yang ingin kuajukan padanya.
“Entahlah. Mungkin karena kau juga punya kemampuan khusus sepertiku.” Jelasnya singkat.
“Maksudnya? Aku gak ngerti sama sekali nih.” Aku menambahkan.
“Yah, memang kau tidak bisa memasuki mimpi orang lain sepertiku, tapi kau punya yang lain, aku bisa merasakannya.” Dia menatapku, dalam. Sangat dekat dengan wajahku. Aku bisa mengukir wajahnya. Rambutnya lurus yang mungkin dicatok sampe sebahu. Mata yang agak sipit. Bibir yang menawan. Wajah yang manis. Begitulah. “Ini rumahku.” Lanjutnya lagi.
Aku masih diam.
Dia membuka pintu rumahnya dengan kuncinya. Dia mengajakku masuk kerumahnya. Kami masuk. Rumahnya ditata rapi. Disebelah kiri terdapat ruang tamu karena sofa dan meja ditata dengan rapi disana. Dibalik ruang tamu yang tidak terdapat sekat apapun terdapat ruang keluarga. Ada tv dan sebuah sofa panjang disana. Diseberangnya ada dua buah kamar. Yang satu tertutup dan yang satunya lagi terbuka.
“Sendirian dirumah? Yang lain kemana?” tanyaku.
“Aku sendirian disini. Orang tuaku entah kemana.” Jawabnya. Aku diam tidak mau menanyakan hal lain lebih lanjut.
Ia berjalan ke kamarnya, melepas jaket cokelatnya. Ia mengenakan celana jeans biru pekat dan kaus putih bergambar abstrak. Setelah itu ia langsung merebahkan tubuhnya dikasurnya yang empuk dengan punggung menempel di bahu tempat tidurnya. Ia masih diam tak bersuara. Aku menghampirinya dengan berebahan di sampingnya. Aku serasa dekat dengannya, entah kenapa. Aku memegang perutnya yang masih berlapis kaosnya, aku dekatkan wajahku kepadanya.
“Siapa kau sebenarnya?” tanyaku.
“Aku Ira.” Jawabnya singkat karena tersadar aku membuyarkan lamunannya.
“Kenapa kau masuk ke dalam mimpiku? Apa yang kau inginkan?” tanyaku lagi dengan nada introgasi polisi.
“Tadi kan aku sudah jawab.” Lanjutnya kesal
“Aku butuh alasan yang lebih spesifik lagi. Aku butuh alasan yang masuk akal. Aku butuh kejujuran.” Tukasku. Aku langsung duduk disampingnya. Kamar itu sudah pasti adalah kamarnya. Kamar itu, ruangan itu, rumah itu, dunia itu, serasa cuma ada aku dan dia.
“Entahlah.” Katanya sambil menghembuskan nafas beratnya. “Aku merasa aku begitu nyaman denganmu.”
Aku diam. Bisa saja dia berbohong dia menyukaiku. Aku tidak mau tahu. Untuk saat ini. Karena aku kecewa dengan jawabannya yang mungkin tidak jujur itu, aku langsung berdiri dan beranjak pergi dari tempatnya. Aku menuju pintu rumah dan langsung pulang kerumah tanpa berkata apa-apa lagi.
Esok malamnya aku menghadiri salah satu ajang pencarian bakat ditempatku berada. Banyak penggemar berdiri di depan panggung layaknya menonton konser. Mereka bersorak-sorak memanggil nama kontestan favoritnya. Aku hanya berdiri jauh di belakang mereka semua agar tidak berdesak-desakan, menonton para kontestan diatas panggung dengan tenang dan damai. Kupandangi mereka semua satu per satu. Pandanganku berhenti di salah satu orang yang kukenal tadi malam. Ira.
“Siapa nama anda?” Tanya host pembawa acara padanya.
“Ira C. Suwiryo.” Jawabnya. Ia menatapku karena merasa ada yang memperhatikannya.
“Beri tepuk tangan untuk Ira.” Kata host pembawa acara untuk semua penonton yang hadir.
Ira langsung menuju backstage panggung. Entah bakat apa yang ia tunjukkan diatas panggung tadi. Aku tidak peduli. Aku mengikutinya.
“Hai,” kataku yang juga sudah tiba diruangan ganti.
Dia masih tidak bicara. Dia hanya berganti baju dengan cepat dari baju panggung tadi hingga ke baju yang nyaman dia kenakan, celana jeans dan kaos. Tapi kali ini ia menambahkan kemeja kotak-kotak berwarna merah hitam yang dibiarkan tidak dikancing begitu saja. Aku tidak memperhatikan, aku sibuk berpikir siapakah dia ini sebenarnya. Aku memikirkan banyak sekali kemungkinan.
“Ikut aku.” Ajaknya. Ia sadar aku melamun dengan tangan kananku yang masih menopang dagu. Kali ini aku yang diam.
Ia berjalan keluar dari tempat itu melewati pintu belakang tempat itu. Aku mengikutinya. Setibanya diluar, terdapat jalan kecil disana mengarah kedua arah, kiri dan kanan. Ia mengambil langkah ke sebelah kiri dan meneruskan jalan kaki hingga ke suatu tempat. Di sebelah kiri kami terdapat banyak bangunan belakang gedung yang tersusun rapi. Pintu dan jendela menghiasi suasana gedung itu. Dan di sebelah kanan kami terdapat semak-semak yang rerumputannya sudah agak meinggi. Aku hanya mengikuti langkahnya, tidak memperdulikan kemana dia akan membawaku. Diperjalanan itu kami diam tidak berbicara satu katapun. Sekitar 30 menit kami berjalan, kami tiba di sebuah lorong yang di sebelah kiri dan kanan terdapat penampakan bangunan belakang gedung yang entah apa namanya. Kami berhenti disebuah pintu di sebelah kiri.
Ia membuka pintu. Setelah kami masuk, terdapat ruangan besar disana. Tertata rapi mirip sebuah mall. Ada tangga eskalator menuju kebawah gedung atau bawah tanah, ada kafe yang menyediakan pesanan makanan, dan ada banyak kursi dan tempat duduk diseberang tangga eskalatornya sebagai tempat makan. Aku takjub. Aku baru pertama kali ke tempat ini. Ira menuju ke sebuah ruangan. Ia membuka pintu. Ada tiga orang laki-laki sehat duduk di sebuah sofa kulit yang empuk disana sambil mendiskusikan sesuatu. Ruangan itu seperti ruangan kantor pada umumnya. Ada rak buku, meja, kursi, alat tulis, foto-foto yang tidak kukenal, dan semacamnya.
“Silahkan duduk.” Pintanya. “ada satu orang lagi semestinya disini, tapi ia sedang sibuk.” Lanjutnya menjelaskan.
Aku pun duduk di seberangnya mengikuti kata-katanya. Sepertinya dia adalah ketua dari kelompok misterius ini. Aku malas bertanya-tanya dan membuka suara. Si pembicara tadi lanjut berbicara. Aku tidak mendengarkannya. Aku disibukkan dengan berbagai macam hal di kepalaku. Sesekali aku mencuri pandang ke arah Ira. Kami sempat beberapa kali berkontak mata, ia hanya tersenyum. Kuyakin senyum itu adalah senyum termanis paling tulus yang ia miliki. Entah apa arti senyumannya itu.
Si pembicara menyudahi pembicaraan. Aku keluar dari ruangan, begitu juga dengan yang lainnya.
“Makan dulu.” Kata Ira yang langsung nyosor ke salah satu kafe dengan cepat untuk memesan makanan.
Aku masih diam. Tidak seperti Ira, aku berjalan dengan pelan, dengan membawa lamunannku.
Tiba-tiba, seorang cewek menyenggolku lalu menjatuhkanku. “Ada apa ini? Salah apa aku ini? Aku tidak mengenalnya. Aku tidak mengenal siapapun disini. Apakah aku ada mengenal seseorang disini? Siapa dia? Oh great!” kataku dalam hati. Aku mendongak melihatnya sambil duduk berselonjoran kaki dengan menampilkan muka paling polosku yang pernah ada. Semua mata yang lain tertuju pada kami berdua.
“Kau harus bilang maaf kepadaku, itulah aturannya sebagai anak baru disini.” Pintanya pelan.
Aku masih diam menatapnya. Berpikir. “Anak ini sok jago amat, mentang-mentang senior.” Kataku dalam hati. Aku sudah muak tertindas di kehidupan ini. Aku tahu cara menghormati orang. Aku tahu cara menghargai orang. Aku tahu kapan aku harus berbicara, diam, atau pergi. Aku tahu kapan harus bertindak.
“Ayo bilang ‘maaf’ atau ‘sorry’ ke aku gitu. Cepat!!” perintahnya dengan nada yang semakin meninggi.
Aku diam sejenak, melihat ke sekelilingku. Semua mata tertuju padaku kali ini. Cewek ini masih melihatku dengan senyumnya yang sinis. Ia sendirian berdiri didepanku, tidak bersama geng-nya. Mungkin ia punya geng seperti anak-anak muda zaman sekarang, mungkin juga tidak. Aku tidak tahu. Dan aku tidak mau tahu. Yang jelas, di hadapanku, hanya dia seorang diri sambil berkacak pinggang di salah satu lengan kirinya.
“Jangan sok jago. Ayo cepat bilang!” pintanya lagi. Kali ini dengan nada datar.
“Bagaimana kalau aku bilang…” aku diam sejenak membuat posisi untuk berjongkok. Secepat kilat, ku berdiri dan kudekatkan wajahku ke wajahnya sekitar satu centimeter, “NO!!!”
Wajahnya tiba-tiba berubah jadi merah. Ia marah dan secepat kilat ia melayangkan tamparannya ke arahku. Aku menangkap tangan kirinya dengan cepat. Kali ini aku yang tersenyum sinis padanya. “Jangan kau pikir aku takut menghadapi cewek. Jangan pikir aku takut menghadapi semua orang yang ada disini. Jangan pikir aku selemah yang kau bayangkan. Lagipula aku sendiri punya alasan mengapa aku melawan.” Kataku dalam hati.
Ia melesatkan kaki kanannya ke perutku. Aku mengelak. Ia berputar lalu melayangkan begitu banyak pukulan beserta tendangan yang ia punya untuk merobohkanku. Aku menepis semuanya dengan tanganku saja.
“Dia cepat, tangkas. Mungkin dia yang terkuat dan yang tercepat ditempat ini. Tapi aku tidak akan kalah.” Pikirku dalam hati lalu dengan cepat aku menghentikan tangan kirinya. Ia terdiam. Kali ini ia yang kaget. Aku menjatuhkannya dengan pelan, ia tidak melawan. Ia pun jatuh.
Semua mata yang tadinya menonton aksi kami berdua sekarang berdiri. Mereka siap melawanku. Aku memperhatikan mereka sekilas. Lalu aku melihat lagi kondisi cewek yang kurobohkan tadi. Kali ini aku hanya memberikan sedikit senyuman tulus padanya. Ia hanya memperhatikanku. Ia masih diam, mungkin bingung. Aku langsung pergi dengan cepat dari tempat itu. Ribuan botol kaca melayang ke arahku. Aku menangkis semuanya dengan tangan kosongku. Tidak ada satupun yang mengenai badanku. Sekilas kulihat telapak tanganku, “tumben aku bisa secepat ini dari biasanya?” pikirku. Aku tidak mengindahkannya. Apapun itu, aku hanya tidak ingin terluka sekarang. Semuanya terdiam sejenak tapi kali ini mereka melempar apapun yang ada. Aku menghiraukannya. Aku menuju pintu keluar, sempat sebelum aku menghilang dari pintu itu, ada benda mirip gelang karet berwarna merah melayang ke arahku. Aku membiarkannya menggulung kaki kananku yang ditutupi celana jeans berwarna biru. Aku tahu gelang itu milik siapa dan apa kegunaannya. Sudah pasti hanya Ira lah yang sanggup melakukan itu. Aku tidak menghindar. Aku langsung menuju ke jalanan sempit yang aku dan Ira lewati tadi. Berjalan cepat sambil membawa tas ranselku di pundak sebelah kananku. Belum ada yang membuntutiku. Tiba di persimpangan, aku memilih jalan ke arah kiri. Disebelah kiriku ada bagian samping sebuah gedung bertembok bata merah yang sengaja tidak di cat. Dan disebelah kananku terdapat jalan raya dua arah berlawanan sebelum disudahi dengan trotoar dan sebuah parit berukuran lebar sekitar dua meter. Aku berbelok ke arah jalan raya di sebelah kananku ketika tiba sebuah jalan menuju kearahnya. Aku tidak berbelok ke arah kiri yang terdapat banyak sekali bangunan gedung yang dibawahnya terpapar ruko-ruko.
Gelang tadi masih menempel di pergelangan kakiku dengan tajam. Kali ini aku melepasnya dengan tarikan keras sehingga gelang yang terbuat dari karet itu pun lepas. Aku langsung membuangnya di parit sebelah kananku dan berjalan kearah yang berlawanan dengan arah yang tadi. Mula-mula aku menyebrangi jalan yang semakin sepi itu, lalu berjalan melawan arah kemudi kendaraan di atas trotoar.
Tiga hari berjalan, aku menghubungi mantan pacarku, Via, agar menjemputku dipinggir jalan raya. Aku hanya bilang padanya dia bisa menemukanku disaat aku sedang berjalan saja. Aku mematikan ponsel, lalu membuangnya, di dalam parit tentunya. Karena aku sadar, Ira dan teman-temannya pasti sudah bertemu dengan Via disaat aku kabur dari ‘rumah tawanan’ itu.
Sekitar lima belas menit kemudian aku berjalan, ada sebuah motor menghampiri. Via. Dia datang. Tapi dibelakangnya menyusul sebuah motor yang dikendarai seorang laki-laki dan sebuah mobil. Mereka turun dari tumpangan mereka. Mereka adalah orang-orang yang juga kukenal, Ira dan si Ketua yang belum kutanyakan namanya tadi bergegas turun dari mobilnya. Begitu juga dengan dua laki-laki yang berboncengan.
“Maaf.” Katanya pelan, “Aku bisa menjelaskan semuanya.” Lanjutnya dengan penuh penyesalan.
“Don’t worry. I know.” Lanjutku dengan senyumku. Aku berjalan ke arah Ira. Aku membawanya ke arah samping mobil yang terparkir agar omonganku dengannya tidak terdengar dengan yang lain. Aku berbicara sepelan mungkin.
“Aku sudah tahu semuanya. I knew everything. Bahkan gelang yang kau lemparkan itupun aku juga sudah mengetahuinya dari awal.” Aku diam sejenak. “Kau hanya tidak ingin kehilanganku kan? You loves me from the first time you saw me in the dream, rite?”
Dia diam. Dia menunduk. Aku tersenyum padanya.
“Aku tidak akan memberitahu siapapun.”
Dia mendongak, “Promise?” ia buru-buru menanyakan itu.
“Jangan khawatir. Aku janji.” Kataku mengangguk sambil mengacak-ngacak rambutnya. Dia tersenyum.
Aku kembali ke arah Via dan yang lainnya sedang berbincang-bincang. Entah apa yang mereka bicarakan. Si ketua membuka mulut.
“Kami sudah tahu kalian sudah tidak bersama lagi.” Katanya dengan menunjuk Via dengan jempolnya.
“Baguslah kalau kalian sudah tahu.” Kataku dengan santai.
“Sekarang kau harus ikut kami.” Katanya lagi.
“Kemana?” tanyaku.
“Kita pergi ke markas.”
“Aku bukan bagian dari kalian. Termasuk Via.” Aku melirik ke arah Via yang sedikit menunduk bersalah kepadaku karena tidak memberitahukannya semua ini kepadaku. “Ups, sepertinya dia juga bagian dari kalian yah?” Aku tersenyum lagi. Dia masih seperti tadi.
“Kau cerdas, kuat, tangguh, dan punya banyak strategi untuk mengatasi semua hal dengan tenang.” Ira berkata di balik punggungku. Ia melanjutkan, “kejadian di markas kita beberapa hari lalu mengejutkan semua orang, disaat kau menghajar cewek itu, kau tetap tenang. Bahkan disaat semua orang mulai menyerbumu, kau bisa dengan leluasa menggunakan kekuatanmu dengan tenang. Padahal, asal kau tahu saja, cewek yang kau hajar tadi itu, adalah yang terkuat dan tergesit dari kami semua.” Ia menjelaskan.
“Kau hebat menganalisa situasi,” Ira melanjutkan, “disaat keadaan terdesak pun, otakmu tidak panik, tapi terus berpikir dengan beribu cara. Contohnya disaat aku melempar gelang itu ke arahmu, kau tidak menghindarinya sedikitpun.” Ia berhenti sejenak, “Aku tidak berpikir bahwa itu adalah salah satu strategimu untuk mengecoh kami.”
“Kau pasti sudah tahu benda itu adalah alat pelacak kami. Via juga mampu melakukan itu. Tapi Ira adalah yang terbaik. Ia mampu melemparkannya dengan tidak meninggalkan jejak sedikitpun dari tempat persembunyiannya. Bahkan kami saja tidak bisa menghindarinya.” Kata si ketua menjelaskan, ia berhenti sejenak memperhatikanku diam, lalu melanjutkan penjelasannya lagi, “Kami pernah berada di posisimu, dihajar dengan cewek itu, dilempari botol, dan dilemparkan gelang itu ke arah kami. Tentu saja itu dari Ira. Tapi, tak ada dari kami yang sanggup bertahan dari semua hantaman itu. Ada beberapa yang sanggup bertahan dan kabur, tapi kami sanggup menemukan mereka dalam waktu 30 menit. Tapi tidak dengan kau. Kami sama sekali kehilangan jejak. Kami menyerah.”
“Yang lainnya sudah melaporkan ini kepadaku.” Via menjelaskan, “Aku juga menyerah. Tapi kau menghubungiku. Disaat itulah aku menghungbungi empat orang ini. Tapi ketika kami berkumpul dan mencoba menghubungimu lagi, kami sudah kehilangan jejakmu. Lagi. Dan harapan kami satu-satunya adalah menemukanmu di tempat yang kau katakan tadi. Aku yakin kamu sudah membuang ponsel dan kartu chip milikmu. Iya kan?” tanyanya.
“Begitulah,” kataku singkat.
“Maafkan aku.” Sesal Via.
“Sudahlah. Yang sudah terjadi ya terjadi. Lagipula kita kan sudah tidak ada ikatan lagi.” Kataku sambil mengalungkan lengan di lehernya.
“Tapi aku tidak memberitahumu kalau aku juga bagian dari kelompok ini.” Lanjutnya dengan muka memelas. Ia benar-benar menyesal.
“Sekarang, apa yang kamu,” aku melihatnya, mengindahkan perkataannya, lalu aku melihat yang lainnya, “dan kalian inginkan dariku?”
“Sekarang ini, ikut saja dengan kami ke markas, kita akan membicarakannya disana, kalau kau tidak mau, kami janji melepasmu dengan sukarela.” Kata si Ketua.
Aku tidak berbicara lagi. Aku langsung duduk dimobil. Aku malas berkata-kata lagi. Lebih baik aku dengarkan dulu apa tujuan mereka. Soal setuju atau tidak, itu urusan nanti.
Di dalam mobil, aku dan Ira duduk dibelakang. Si Ketua dan rekan satunya lagi yang tidak berbicara dari awal aku bertemu dengannya tetap diam membisu. Via dan rekan yang satu lagi sama-sama mengendarai motor mereka. Aku yakin mereka semua pasti berpencar untuk menemukanku tadi, hihi..
Kami berjalan ke arah markas. Si ketua yang menyetirkan mobilnya. Kami semua membisu di dalam mobil.
“Ngomong-ngomong, kau pernah bilang diatas panggung itu bahwa namamu Ira C. Suwiryo, kan?” aku bertanya padanya.
“Iya. Memangnya kenapa?” tanyanya penasaran.
“Apa benar itu nama aslimu?” Tanyaku.
“Iya itu memang benar.” Jawabnya lagi. Ia langsung tertegun. Ia mulai menyadari arah pertanyaanku.
“Baiklah, kalau begitu apa arti dari huruf ‘C’ –mu itu?”

---------- end ----------

No comments:

Post a Comment

type your comment here...